Asalnya merusak barang orang lain itu dituntut ganti rugi kecuali pada beberapa kasus, ada yang tidak dituntut ganti rugi. Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan kaedah fikih dari Rumaysho berikut ini.
Dalam bait syair syaikh As-Sa’di disebutkan,
وَمُتْلِفُ مُؤْذِيْهِ لَيْسَ يَضْمَنُ
بَعْدَ الدِّفَاعِ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Orang yang merusak sesuatu yang mengganggunya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban,
setelah dia melakukan pembelaan dengan cara yang paling bijak.
Ini adalah kaedah tentang masalah merusak (itlaf atau ihlak). Jika seseorang merusak barang orang lain, maka ia hendaklah memberi ganti rugi, bila tidak ada pengecualian.
Itlaf atau ihlak artinya mengeluarkan sesuatu dari kemanfaatannya.
Dalil kaedah
Siapa saja yang menghancurkan barang orang lain dengan cara yang batil, termasuk merusak (itlaf). Dalam ayat disebutkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
Ayat lainnya menyebutkan,
إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS. Asy-Syura: 42)
Baca Juga: 12 Bentuk Kezaliman pada Harta Orang Lain
Anas mengatakan bahwa sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa makanan dalam mangkuk. Aisyah lantas memukul piring tersebut dengan tangannya. Kemudian ia melemparkan isinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
طَعَامٌ بِطَعَامٍ وَإِنَاءٌ بِإِنَاءٍ
“Makanan harus diganti dengan makanan, juga bejana diganti dengan bejana.” (HR. Tirmidzi, no. 1359. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Pemahaman kaedah
- Siapa saja yang merusak barang orang lain, maka ia harus ganti rugi. Ini hukum asalnya. Merusak di sini tidak memandang apakah sengaja, lupa, tidak tahu, atau dipaksa. Akan tetapi, jika itu karena dipaksa, orang yang memaksa yang harus mengganti.
- Siapa saja yang merusak harta orang, ia harus menanggung kerugian, terserah ketika itu mendapatkan manfaat ataukah tidak. Misalnya, seseorang makan makanan orang lain atau memakai baju orang lain sampai usang, maka ia harus siap menanggung kerugian. Contoh yang tanpa mengambil manfaat adalah seperti membakar atau menghancurkan, tetap ada dhaman (ganti rugi).
Yang tidak dikenakan dhaman (ganti rugi)
- Mencelakai yang menyakiti dalam keadaan darurat. Maka berlaku kaedah keadaan darurat membolehkan suatu yang diharamkan.
Misal, dalam masalah begal.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلْهُ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ « فَأَنْتَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ « هُوَ فِى النَّارِ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?”
Beliau bersabda, “Jangan kau beri padanya.”
Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?”
Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.”
“Bagaimana jika ia malah membunuhku?”, ia balik bertanya.
“Engkau dicatat syahid”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Bagaimana jika aku yang membunuhnya?”, ia bertanya kembali.
“Ia yang di neraka”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 140).
Syaikh As-Sa’di menyebutkan,
بَعْدَ الدِّفَاعِ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَن
setelah dia melakukan pembelaan dengan cara yang paling bijak.
Artinya menurut Syaikh As-Sa’di, dibalas sesuai kemampuan, dari yang paling ke yang paling mudah. Jangan berlebihan dalam membalas. Jika berlebihan, dituntut dhaman (ganti rugi).
Lihat tentang masalah nusyuz (istri durhaka pada suami),
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُن فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisaa’: 34).
- Diizinkan oleh yang memiliki.
Misalkan yang punya barang mengizikan untuk memanfaatkannya. Makanan dipersilakan untuk dihabiskan, begitu pula minuman.
- Diizinkan untuk memanfaatkan dari syariat, maka tidak ada dhaman (ganti rugi kerusakan).
Misalnya, ada yang darurat butuh makan dan ia tidak memiliki makanan. Syariat membolehkan memakan makanan orang lain kala kondisi darurat seperti ini, ia tidak dikenai dhaman (ganti rugi). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Tidaklah masalah seseorang makan harta orang lain dalam keadaan terpaksa karena fakir, dan tidak perlu ada dhaman (ganti rugi).”
- Pengrusakan terjadi di tangan orang yang amin.
Al-amin adalah setiap orang yang diizinkan memegang suatu harta dengan izin syari atau izin si pemilik, seperti diizinkan karena sudah menyewa, orang yang meminjam (‘aariyah), orang yang diminta dititipkan barang (wadi’ah), yang saling berserikat, yang diwasiatkan menjaga harta anak yatim, nazhir wakaf, wali dari orang safih, dan semacamnya. Jika terjadi kerusakan barang di tangan orang-orang yang disebutkan di sini selama tidak sengaja dan bukan karena berlebihan, maka tidak ada ganti rugi.
- Ada yang ingin berbuat baik pada orang lain, lantas dirusak oleh orang lain selama tidak berlebihan.
Misalnya, ada yang meletakkan batu atau kayu pada jalan yang berbecek kala hujan, supaya orang-orang yang lewat tidak terjatuh di situ. Namun ada yang jatuh kala melewati jalan tersebut, maka tidak ada dhaman, karena orang ini dianggap muhsin, kecuali kalau yang meletakkan batu atau kayu pada jalan melampaui aturan yang wajar.
Yang tidak termasuk amin
- Mengambil harta orang lain tanpa izin syari atau rida pemiliknya, ini suatu kezaliman. Misalnya, ada yang merampas sebuah mobil, lantas mobil tersebut rusak di tangannya, maka ia harus ganti rugi karena ia sengaja merampas harta orang lain secara melampaui batas. Seandainya yang merampas tadi menjaganya, lantas terbakar, maka tetap wajib menggantinya.
- Muhsin seperti pada contoh nomor lima di atas, yakni orang yang berbuat baik dengan maksud menolong orang, namun berbuat melampaui batas (dari sewajarnya), maka ia termasuk zalim.
Baca Juga:
- Hadits Arbain #32: Tidak Boleh Memberikan Mudarat Sengaja ataupun Tidak
- Kaedah Fikih (25): Pengharaman dalam Zat dan Syarat Ibadah
Referensi:
Syarh Manzhumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah li Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Cetakan pertama, Tahun 1436 H. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. Penerbit Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi.
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Senin sore menjelang Maghrib, 11 Ramadhan 1441 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com